12 jenis bias kognitif

12 Jenis Bias Kognitif
==================

Otak manusia mampu melakukan 10^16 proses per detik, jauh lebih cepat dari yang bisa dilakukan komputer yang paling modern sekalipun. Tapi itu tidak berarti otak kita tidak mempunyai keterbatasan utama. Kalkulator sederhana bisa melakukan perhitungan matematika ribuan kali lebih baik daripada kita manusia, dan memori kita sering kali tidak berguna sama sekali—plus, kita cenderung mengalami bias kognitif, gangguan-gangguan yang mengganggu dalam pikiran kita hingga menyebabkan kita membuat keputusan-keputusan yang kemudian menimbulkan pertanyaan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang salah. Di bawah ini adalah selusin bias-bias kognitif yang merusak yang paling umum yang perlu Anda ketahui.

Sebelum kita mulai, adalah penting membedakan antara bias-bias kognitif dan kesalahan logika (logical fallacies). Kesalahan logika adalah sebuah eror dalam argumentasi logis (misal, ad hominem attack (menyerang dengan argumen membabi buta), slippery slopes (suka menyulut-nyulut masalah sehingga menjadi besar), circular arguments (suka memberi argumen yang berputar-putar), appeal to force (suka memaksakan kehendak), dll). sedangkan bias kognitif adalah, sebuah defisiensi yang murni atau keterbatasan pikiran—sebuah kelemahan dalam menilai yang timbul akibat kesalahan dalam memori, atribusi sosial, dan miskalkulasi (seperti kesalahan statistik atau kesalahan dalam hal sense of probability.)

Sebagian psikolog sosial percaya bahwa bias-bias kognitif bisa membantu kita memproses informasi dengan cara lebih efisien, khususnya dalam situasi yang berbahaya. Namun, bias-bias kognitif tersebut bisa menyebabkan kita membuat kesalahan besar. Kita boleh jadi cenderung salah dalam melakukan penilaian, namun sekurangnya kita bisa menyadari kesalahan tersebut. Di bawah ini adalah beberapa kesalahan penting yang perlu kita ingat.

1. Bias Konfirmasi (Confirmation Bias)

Kita suka setuju dengan orang-orang yang sependapat dengan kita. Itulah sebabnya kita hanya mengunjungi website yang mengekspresikan pandangan politik kita, dan mengapa kita cenderung lebih suka bergaul dengan orang-orang yang mempunyai pandangan dan selera yang sama dengan kita. Kita cenderung merasa terganggu oleh individu-individu, kelompok-kelompok, dan sumber-sumber berita yang membuat kita tidak nyaman dan tidak pede tentang pandangan-pandangan kita—ini yang disebut oleh psikolog tingkah laku B.F. Skinner disonansi kognitif (cognitive dissonance). Mode tingkah laku preferensial seperti inilah yang mengarah pada bias kogntitif—perbuatan kita merujuk pada perspektif-perspektif yang mendukung pandangan kita saja yang sering kali dilakukan secara tidak sadar, dan pada saat yang sama mengabaikan atau menganggap sepi pandangan-pandangan lain—tidak peduli betapapun valid-nya pandangan lain tersebut—yang mengancam pandangan kita. Dan secara paradoksal, Internet justru membuat tendensi seperti ini menjadi lebih buruk.

2. Bias Kelompok (Ingroup Bias)

Yang agak mirip dengan bias konfirmasi adalah bias ingroup. Bias ingroup adalah sebuah manifestasi dari kecenderungan sifat-sifat kesukuan kita. Dan anehnya, kebanyakan dari efek ini boleh jadi berhubungan dengan oxytocin—yang sering disebut “molekul cinta.” Neurotransmitter ini, meski membantu kita untuk memperkuat hubungan dengan orang-orang yang ada dalam ingroup kita, namun bisa menjadi penyebab kerenggangan hubungan kita dengan orang yang berada di luar kelompok kita—hal ini membuat kita selalu curiga, takut, dan bahkan melecehkan terhadap orang lain. Pada akhirnya, bias ingroup ini bisa membuat kita menilai berlebihan terhadap kemampuan dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok kita saja dan mengabaikan orang-orang yang berada di luar kelompok kita.

3. Kekeliruan Penjudi (Gambler's Fallacy)

Disebut kekeliruan (fallacy), tapi ini lebih merupakan sebuah gangguan dalam pikiran kita. Kita cenderung menumpukan berat yang luar biasa pada peristiwa-peristiwa yang telah lalu, dengan mempercayai bahwa peristiwa-peristiwa tersebut suatu saat nanti akan mempunyai pengaruh terhadap penghasilan kita di masa depan. Contoh klasik adalah coin-tossing (mengundi dengan koin). Kalau yang muncul selalu bagian kepala, misalkan, lima kali berturut-turut, maka kita cenderung memprediksi akan ada peningkatan peluang berikutnya pada ekor—peluang sisanya tentu adalah kepala. Namun realitasnya, peluangnya masih tetap 50/50. Seperti yang dikatakan ahli statistik, hasil yang muncul pada toss yang berbeda adalah independen secara statistik dan kemungkinan hasil yang akan muncul tetap 50%.

Terkait, ada juga yang disebut bias ekspektasi positif—yang sering kali menyulut kita jadi kecanduan judi. Adalah sense bahwa keberuntungan kita pastilah berubah dan pasti akan ada keberuntungan yang akan datang menghampiri. Hal ini juga berkontribusi terhadap miskonsepsi tentang adanya “tangan panas”. Serupa, adalah perasaan yang sama dengan yang kita rasakan ketika kita memulai sebuah hubungan baru yang menyebabkan kita percaya hubungan itu akan lebih baik dari yang terakhir.

4. Rasionalisasi Pasca-Beli (Post-Purchase Rationalization)

Ingat waktu Anda membeli sesuatu yang sama sekali tidak penting, barang yang cacat, atau Anda telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk itu, dan kemudian Anda merasionalisasi pembelian tersebut sedemikian rupa hingga Anda yakin bahwa itu adalah sebuah ide yang bagus? Ya, itulah yang disebut rasionalisasi pasca-beli sedang beraksi—sejenis mekanisme built-in yang membuat kita merasa lebih baik setelah kita membuat sebuah keputusan yang konyol, khususnya mengenai pengeluaran uang. Juga dikenal sebagai Buyer's Stockholm Syndrome, ini adalah sebuah cara yang secara tidak sadar membenarkan perbuatan kita membeli sesuatu—khususnya sesutau yang mahal. Para psikolog sosial mengatakan hal ini berasal dari prinsip komitmen, hasrat psikologis kita untuk tetap konsisten dan menghindari keadaan disonansi kognitif.

5. Mengabaikan Kemungkinan (Neglecting Probability)

Sangat sedikit dari kita yang mempunyai masalah dalam hal memasuki mobil dan pergi mengendara, namun kebanyakan dari kita merasa sangat was-was ketika masuk ke pesawat terbang dan terbang dengan ketinggian 35.000 kaki. Terbang, cukup jelas, sangat tidak alami dan tampaknya merupakan sebuah aktifitas yang berbahaya. Namun tampaknya kita semua tahu dan menyadari fakta bahwa peluang kematian akibat kecelakaan mobil secara signifikan lebih besar daripada kematian akibat kecelakaan pesawat terbang—namun otak kita tidak mau melepaskan kita dari logika yang sangat jelas ini (secara statistik, kita mempunyai peluang 1 dalam 84 dalam hal kecelakaan akibat kendaraan bermotor, dibandingkan dengan 1 dalam 5.000 dalam hal kecelakaan pesawat terbang [sumber lain mengindikasikan perbandingan sebesar 1 dalam 20.000]). Fenomena yang sama membuat kekhawatiran kita akan tewas akibat aksi terorisme lebih besar daripada kekhawatiran kita akan tewas akibat terjatuh dari tangga atau tewas akibat racun misalnya.

Inilah yang oleh psikolog sosial Cass Sunstein dinamakan pengabaian probabilitas (probability neglect)—ketidakmampuan kita untuk memahami dengan tepat akan bahaya dan resiko—yang sering kali membuat kita melebih-lebihkan resiko dari aktifitas yang sebenarnya relatif aman, dan menganggap aman aktifitas yang sebenarnya lebih berbahaya.

6. Bias Seleksi Observasional (Observational Selection Bias)

Ini adalah efek dari memperhatikan secara tiba-tiba segala sesuatu yang kita tidak begitu kita perhatikan sebelumnya—tapi kita secara salah menganggap bahwa frekuensi sesuatu tersebut telah meningkat. Sebuah contoh sempurna adalah apa yang terjadi setelah kita membeli sebuah mobil baru dan entah kenapa kita mulai melihat mobil yang sama di mana-mana. Efek yang sama terjadi pada wanita hamil yang secara tiba-tiba memperhatikan ada banyak wanita hamil lainnya di sekitar mereka. Atau ketika kita melihat sebuah angka atau mendengar lagu yang unik. Masalahnya bukan karena hal seperti itu muncul lebih sering dari sebelumnya, tapi karena kita telah (dengan alasan apapun) memilih item tersebut di dalam pikiran kita, dan pada gilirannya, kita jadi memperhatikannya lebih sering lagi. Masalahnya adalah, kebanyakan orang tidak menyadari hal ini sebagai sebuah bias seleksi, dan langsung percaya bahwa hal itu atau peristiwa itu jadi lebih sering terjadi—yang bisa menjadi sebuah perasaan yang sangat membingungkan. Bias kognitif juga berkontribusi terhadap timbulnya perasaan bahwa munculnya sesuatu atau peristiwa tertentu tidaklah mungkin hanya kebetulan belaka (meski sebenarnya memang sebuah kebetulan).

7. Bias Status-Quo (Status-Quo Bias)

Kita manusia cenderung aprehensif terhadap perubahan, yang sering kali menyebabkan kita membuat pilihan yang menjamin bahwa segala sesuatunya akan tetap sama, atau hanya sedikit sekali berubah. Tak perlu dijelaskan lagi, hal ini terjadi dalam segala hal mulai dari politik hingga ekonomi. Kita suka terpaku pada tugas-tugas rutin kita, partai politik kita, dan pada makanan atau restoran kesukaan kita. Sebagian dari keburukan dari bias ini adalah adanya asumsi yang tidak beralasan bahwa pilihan lain akan menjadi inferior atau malah membuat sesuatunya menjadi lebih buruk. Bias status quo bisa disimpulkan dengan ungkapan yang berbunyi, “jika tidak rusak, jangan diperbaiki”—sebuah adagium yang memicu kecenderungan konservatif kita. Dan nyatanya, beberapa orang komentator mengatakan inilah sebabnya mengapa AS tidak mampu memberlakukan perawatan kesehatan universal, meski kebanyakan orang mendukung ide reformasi.

8. Bias Negativitas (Negativity Bias)

Orang cenderung lebih memperhatikan berita yang buruk-buruk—dan hal itu bukan hanya karena kita adalah makhluk yang morbid. Para ilmuwan sosial berteori bahwa hal itu akibat dari perhatian selektif kita dan bahwa, jika harus memilih, kita menganggap berita-berita negatif sebagai lebih penting dan bermakna. Kita juga cenderung memberi kredibiltas yang lebih besar pada berita-berita buruk, mungkin karena kita curiga (atau bosan) atas pernyataan yang baik-baik melulu. Yang lebih evolusioner, kita menganggap perbuatan mengindahkan berita-berita buruk boleh jadi lebih adaptif daripada mengabaikan berita-berita baik (misalnya, berita “harimau bertaring ngamuk” vs “buah beri ini berasa enak”). Sekarang ini, kita lebih suka berkecimpung dengan berita-berita negatif dan mengabaikan berita-berita yang baik. Steven Pinker, dalam bukunya The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined, berargumen bahwa kejahatan, kekerasan, perang, dan ketidakadilan-ketidakadilan lainnya terus menurun, namun kebanyakan orang berpendapat bahwa segala sesuatunya menjadi lebih buruk—yang merupakan contoh sempurna dari bias negativitas.

9. Efek Bandwagon (Bandwagon Effect)

Meski sering kali tidak kita sadari, kita suka mengikuti arus. Ketika massa mulai memilih seorang pemenang atau seorang yang difavoritkan, ketika itulah otak kita secara individual mulai menutup dan masuk ke dalam sejenis “groupthink” atau hivemind-mentality. Namun hal ini tidak mesti melibatkan kelompok massa yang besar atau seluruh negeri saja; hal ini bisa saja terjadi dalam sebuah kelompok-kelompok kecil, seperti keluarga atau bahkan sekelompok kecil pekerja kantor. Efek bandwagon adalah apa yang sering menyebabkan tingkah laku, norma-norma sosial, dan meme berkembang biak di antara kelompok-kelompok individual—tidak peduli apapun bukti-bukti dan motif-motif pendukungnya. Inilah sebabnya mengapa poling pendapat sering kali menyesatkan, karena poling tersebut bisa mengarahkan pandangan-pandangan individual sesuai arus. Kebanyakan dari bias serupa ini berhubungan dengan hasrat dari dalam diri kita kita untuk menyesuaikan diri dan patuh, sebagaimana yang populer didemonstrasikan oleh Asch Conformity Experiments.

10. Bias Proyeksi (Projection Bias)

Sebagai individual yang setiap saat terjebak di dalam pikiran kita sendiri, sering kali sulit bagi kita untuk memproyeksikan diri di luar lingkungan kesadaran dan preferensi kita sendiri. Kita cenderung berasumsi bahwa kebanyakan orang berpikir sama dengan kita—meski tidak ada justifikasi tentang itu. Kelemahan kognitif ini sering kali menimbulkan efek yang berkaitan yang dikenal sebagai bias konsensus palsu (false consensus bias) di mana kita cenderung mempercayai bahwa orang lain tidak hanya berpikir sama dengan kita, namun mereka juga setuju dengan kita. Ini adalah bias di mana kita menganggap diri kita sangat tipikal dan normal, dan berasumsi bahwa sebuah konsensus hanya ada pada hal-hal di mana mungkin tidak terdapat konsensus. Lebih dari itu, bias ini juga bisa menciptakan efek di mana para anggota sebuah kelompok radikal atau kelompok pinggiran berasumsi bahwa ada lebih banyak orang di luar kelompok mereka yang setuju dengan mereka dalam hal tersebut. Atau adanya kepercayaan diri yang berlebihan yang dimiliki seseorang ketika dia memprediksi pemenang pemilu atau pertandingan olahraga.

11. Bias Saat Ini (The Current Moment Bias)

Kita manusia mengalami kesulitan besar alam membayangkan diri kita sendiri di masa yang akan datang dan mengubah tingkah laku kita dan ekspektasi kita agar sesuai dengan harapan kita. Kebanyakan kita lebih suka mengalami rasa senang di saat sekarang, dan menyingkirkan rasa sakit untuk masa nanti. Ini adalah bias yang menarik perhatian khusus para ahli ekonomi (misal, ketidakinginan kita untuk tidak menghambur-hamburkan uang dan menabung) dan para praktisi kesehatan. Sebenarnya, sebuah studi pada tahun 1998 menunjukkan bahwa, ketika memilih makanan untuk minggu berikutnya, 74% dari partisipan memilih buah-buahan. Namun dalam memilih makanan untuk hari ini, 70% memilih cokelat.

12. Efek Jangkar (Anchoring Effect)

Juga dikenal sebagai jebakan relativitas, ini adalah kecenderungan di mana kita harus membandingkan dan mengontraskan hal-hal yang terbatas. Ini disebut efek jangkar (anchoring effect) karena kita cenderung terfokus pada sebuah nilai atau angka yang pada gilirannya akan dibandingkan dengan nilai-nilai dan angka-angka yang lain. Contoh klasik adalah sebuah barang yang diobral dalam sebuah toko; kita cenderung melihat (dan menilai) perbedaan dalam hal harga, namun bukan harga itu sendiri secara keseluruhan. Inilah sebabnya mengapa sebagian menu restoran menampilkan daftar makanan yang sangat mahal, sambil juga (tampaknya) mencantumkan makanan yang murah-murah. Itulah sebabnya juga mengapa, ketika diberi pilihan, kita cenderung memilih yang ditengah-tengah—yang tidak terlalu mahal namun juga tidak terlalu murah. (By George Dvorsky)

Sumber:
1. http://novenrique.blogspot.co.id/2013/01/12-bias-kognitif-yang-membuat-anda.html
2. http://io9.com/5974468/the-most-common-cognitive-biases-that-prevent-you-from-being-rational


Comments:
Ahsan Ridha Aulia : Pertamax dishare... :v
Achill IsDead : Panjangs...

Doyan deh klo uda mulai posting yg beginian...

MengGERUNG
Jreng
Ahmad Hendra Sutiawan : nitip jempol
Elly Kristin : ijin share
Ariyanto Ari : top lah
Franz Surya Hart : kuat banget ini
Nanang Wk : sae mas
Ribanruh Bin Rif'an : Ijin sher pak
Afad Law : up
Amran Rede : Ini disertasi psikologi. Cobalah break down menjadi fragmentaris yg spesifik selanjutnya kaitkan dgn realita kontekstual.

Itu sebabnya tdk ada teman2 yg menanggapi (reply) postingan ini dgn kalimat2 yg argumentatif (panjang2).
Lambang Mahardhika : Ada tulisan yang bersifat memancing beragam pendapat manusia, ada juga tulisan yang disimpan sebagai referensi. Khusus yang ini, tujuannya memang untuk referensi agar tidak hilang atau nyelip2 di sana sini. Harap maklum. :)
Yantienyan Yan : mantaab

==== Sumber

0 Response to "12 jenis bias kognitif"

Post a Comment